HARI ini kita berada di awal tahun 2012 tahun yang diyakini sebagai tahun Naga Air, tahun perubahan. Aceh sedang memasuki sebuah periode puncak pertarungan para ‘jago-jago’ di ranah perpolitikan yang makin gerah dan panas. Aceh sepertinya tengah bergerak pada satu varian yang digambarkan dalam “Aceh Meniti Transisi” sebagai suatu periode Aceh di bawah oligarki kekuasaan yang memperkaya diri sendiri dan melakukan cara apa pun untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka.
Dalam kata pengantar naskah “Aceh Meniti Transisi” disebutkan bahwa dalam satu dekade ke depan sejak digagas oleh berbagai stakeholder pada November 2007, Aceh akan mengalami berbagai kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi di Aceh. Di dalamnya terdapat empat kemungkinan, dari yang paling ideal mengenai kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam perdamaian, sampai mimpi buruk mengenai perang yang menghancurkan kehidupan masyarakat Aceh yang saat ini berangsur pulih. Dan di antara kedua titik tersebut, terdapat dua varian lain. Pertama adalah stagnasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang mencengkeram masyarakat Aceh dan Kedua adalah kondisi yang digambarkan diawal tulisan ini, sebagai era dominasi oligarki mempertahankan hegemoni.
Realitas 2012
Memasuki 2012, berarti ada tenggang waktu 5 tahun lagi untuk sampai pada sebuah impian ‘Aceh Baru’, sebuah masyarakat yang bertekad mengubah diri dan membangun dirinya secara baru dengan memperbaharui kemampuan dalam menciptakan dan mengolah gagasan-gagasan baru. Namun benturan-benturan realitas baik dalam sosial, politik, kebijakan pemerintah dalam mengatur regulasi, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesepakatan untuk Aceh yang lebih baik seperti dalam persoalan lingkungan hidup yang tak berimbang antara kebijakan moratorium logging dan bermunculannya izin-izin baru di bidang perambahan hutan yang justru semakin memperparah kondisi kehutanan kita hari ini.
Aceh dalam skenario ‘Aceh Baru’ justru tidak beranjak pada kemungkinan ‘Aceh Baru’ itu sendiri, yang diilustrasikan sebagai sebuah kondisi terjadinya perbaikan ekonomi yang mampu menyejahterakan rakyat dan dilindunginya hak asasi manusia rakyat Aceh dalam segala aspek yang dimungkinkan dengan adanya perdamaian yang kondusif dan terjaga. Dan hal ini didukung dengan sikap penyelenggara pemerintahan yang mampu memperbaiki watak birokrasinya dan mampu menjawab persoalan masyarakat secara fektif, terbuka dan bebas korupsi.(AMT, hal 1).
Pergulatan pemikiran dari sudut pandang yang beragam yang mewakili pergulatan keragaman spektrum pemikiran kiranya benar telah menabalkan sebuah kemungkinan yang sepertinya memang masih dalam benang merah perdamaian Aceh, yang kondisinya masih rentan dan rapuh, yang belum sembuh benar dari konflik yang berkepanjangan. Buktinya Aceh hari ini justru melewati tahapan skenario ‘Aceh Lama 1’ dan melompat kepada kondisi ‘Aceh Lama 2’ yang digambarkan sebagai kondisi “sistem ekonomi yang pro-pemodal dengan situasi perdamaian masing berlangsung” namun diwarnai konflik horizontal yang timbul tenggelam, pro kontra masyarakat dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan terhadap berbagai persoalan yang merongrong sosial, ekonomi, semua sedang berjalan dalam bandul yang digambarkan para pemikir Aceh sebagai gambaran ‘Aceh Lama’ fase pertama.
Aceh hari ini menjadi surga bagi para investor, karena pemerintahan Aceh dan DPRA Aceh bersepakat memberikan segala bentuk kemudahan berinvestasi, namun nasib rakyat tidak berubah; kemiskinan menunjukkan gejala bergerak naik, namun berusaha diimbangi dengan pelayanan publik yang diupayakan tak lagi buruk sebagai bentuk sisi tawar mempertahankan kekuasaan pada tempatnya. Aparat keamanan ‘bermain’ tidak saja sebagai beking bagi investor, namun juga pemain politik itu sendiri.
Pergulatan politik yang merenggangkan berbagai kubu yang saling berseteru secara politis dalam ajang pilkada, semakin melebarkan jurang kepada sebuah impian dan keinginan sebuah Aceh yang lebih baik, The New Age for Aceh, sebuah Era Baru Aceh. Kondisi riil baru-baru ini, penggranatan, serangan brutal terhadap sipil, pembunuhan dalam motif politik, munculnya kembali era OTK, merupakan modus operandi gaya lama yang mengedepankan ketidakstabilan kondisi sosial politik dan keamanan masyarakat sebagai jargon untuk menetapkan kembali wacana Aceh yang tak lagi ‘aman’, meskipun hal ini bertolak belakang dengan skenario yang digambarkan dalam ‘Aceh Lama 1’ karena ketika realitas perdamaian seolah memburuk namun “dagang politik para blue collar” justru makin aman tak tersentuh.
Terlepas dari skenario apa yang tengah ‘dimainkan’ para elite politik hari ini, ketika kondisi bergerak perlahan ke arah situasi tidak normal, dapat memancing situasi di mana masyarakat sipil memunculkan gelagat kekhawatiran yang meluas, menimbulkan pikiran eksodus dan kondisi seperti di era konflik pratsunami 2004 lalu.
Seharusnya revolusi perdamaian yang telah susah payah dihadirkan dalam skenario natural hazard dengan pengorbanan ribuan nyawa menjadi stimulan bagi semua pihak untuk sadar bahwa tsunami tujuh tahun lalu telah memberikan bala dan berkah sekaligus pada perdamaian Aceh yang kita cintai hari ini dan semakin mengerucutkan pemikiran kita pada arah ‘Aceh Baru’ bukan ‘Aceh Lama’ skenario satu apalagi sebuah ‘Aceh Hancur’.
Aceh Hancur adalah kondisi yang paling mengkhawatirkan dan paling jelek dari pilihan-pilihan kita ketika menetapkan gagasan sebuah skenario tentang Aceh; yang digambarkan sebagai situasi di mana perpaduan antara varian orientasi ekonomi pro-pemodal dengan situasi perdamaian gagal! Meskipun hari ini tidak sepenuhnya secara ekonomi terjadi distabilitas, bahkan justru diikuti oleh membanjirnya investor meski kondisi negeri ‘memburuk’, namun kenyataan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan berjalan tertutup dan tidak transparan. Korupsi merambah di segala tingkat pelayanan publik dan jenjang pemerintahan.
Masih ada sisa harapan dan optimisme memasuki tahun 2012, karena jika dibandingkan Aceh konflik pratsunami dulu, Aceh hari ini relatif baik terutama jika semua pihak sepakat mengimbanginya dengan perbaikan pada perilaku birokrat yang ‘sadar diri’ dan makin baik, secara kualitas pribadi, bukan menjadi “serigala bagi rakyatnya sendiri”.
Oleh Hanif Sofyan
* Penulis adalah penyuka fotografi dan menulis.
Editor : bakri
Serambi Indonesia, Kamis, 5 Januari 2012
Serambi Indonesia, Kamis, 5 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar